Saat jari gue menari indah seraya lagu “Sing Penting Joget” mulai terdengar, Dina nge-messages gue di Line.
“Jadi engga jazz, kalo engga aku lanjut tidur-tiduran lagi nya ya..” seketika
itu juga, gue langsung mematikan Laptop dan langsung membalas messages Dina. “Ya
jadilah, jangan pergi ke alam mimpi dulu yahh..” jawab gue, mencoba buat jadi
romantis tapi gagal.
“Plis jazz, kamu bukan Zarry Hendrik engga enak banget ah..
yaudah, jemput aku ya.? Engga papa kan.?”
“Oh iya ya oke dehh, iya lahh, kan aku yang ngajak..”
Setelah itu gue langsung pergi ke kamar mandi buat
ngebersihin badan (ya iyalah), setelah mandi. Gue langsung mencari baju yang
bagus buat nge-date. Gue pun nyaris saja merubah kamar gue jadi pasar kamis,
karena baju yang di lemari gue berantakin semua.
Setelah gue menemukan baju yang pas, which is itu adalah
tetep celana sama hoodie, gue langsung pergi ke cermin, memastikan bahwa
pakaian gue sudah bagus sambil berdoa supaya engga terjadi apa-apa. Gue langsung cabut ke rumah Dina. Sesampainya di daerah rumah nya Dina di daerah kemuning,
gue mulai bingung cari-cari alamat rumah nya Dina. Karena bingung gue pun
berulang kali ngeline Dina. Karena teralu sering di line sama gue lama-lama
Dina mungkin agak kesel sampai akhirnya dia keluar dari rumah dan mencoba
mencari gue. Saat gue sudah melewati beberapa blok, di belakang gue ada suara
“Jazz.. kamu mau kemana.?” Gue langsung mengerem motor gue. dan langsung
memutarbalik motor gue.
Setelah gue memutar, gue melihat Dina yang berpakaian seadanya, bukan pake kolor sama karung, tapi sederhana, itu cocok sama pakaian gue sekarang.
“Kamu barusan muter kemana aja.?” Tanya Dina.
“Ya, kemana-mana, bahkan udah sampai ke trunojoyo.” Jawab
gue yang terdengar kurang jelas oleh Dina karena angin yang terlalu kencang
saat gue memajukan motor gue.
“Ya
ampun jauh amat haha… berarti sampai Riau segala ya.”
“Yaiyalah, lagian kalo kita mau ke kemuning juga harus lewat
Riau kan.”
“Iya sih.”
Setelah berjalan tidak terlalu jauh, kita berdua menghening sampai kita sampai di pusat
elektronik paling lengkap di Bandung. Bandung Electronic Centre. Pada saat gue memasuki BEC, gue merasa keren tingkat tinggi. iya.. sindrom karena udah menjomblo sampai bang toyib pulang. padahal, Dina bukan cewek gue. tapi, tetep aja gue merasa keren jalan bersama cewek cantik secantik Dina #uhuk. yah, lupakan lah sindrom jomblo gue.
“Jazz, kamu mau cari DSLR.?” Tanya Dina seraya kita memasuki
BEC, menganggap gue sangat kaya.
“Engga sih, cuman harga nya aja.?” Jawab gue, ngeles at the finest time.
“Ngapain, kamu nyari harga doang.” DEG.
“Yakan itu cuman alesan buat bisa ngajak kamu jalan aja,
Dina.. ehehe” Jawab gue sambil ketawa-ketawa canggung.
“Euhh.. Yaudah, kamu mau ikut aku dulu apa mau misah.?” Ah Dina masih engga ngerti juga.
“Aku ikut kamu aja dulu, kan harga kamera gitu ada
dimana-mana.” jujur at its finest.
“Yaudah deh..” Fyuhh
Gue akhirnya mengikuti Dina, keliling BEC. Sambil melihat
sekeliling, gue juga iseng. Melihat reaksi cowok-cowok waktu ngelihat Dina yang
menurut gue cantik nya amit-amit aming di bawa ke langit. Dan reaksi mereka
biasa aja, lirik-lirik jual mahal (Yeah. Y’all know what I mean). Mungkin itu
karena ada gue yang jalan di sebelah nya. Mungkin mereka kira gue adalah pacar
nya, jadi mereka juga engga enak sama gue dan kemungkinan juga takut karena
wajah gue yang mirip Osama Bin Laden yang baru aja di kontrak iklan sama
Gillette.
Disaat kita lagi enak-enak nya muter-muter BEC.Akhirnya Dina
menemukan tempat aksesoris kamera yang dia cari. Gue juga sudah siap-siap buat
menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan oleh Dina, supaya terlihat keren
dimata Dina. Dina menanyakan tripod yang dia cari, Dina terlihat sangat hafal
tentang Aksesoris kamera, dia juga menyebutkan beberapa jenis tripod. Yang
menurut dia memiliki bobot berbeda, beda dengan gue yang menurut gue semua
tripod sama aja.
“Jazz.”
tanya dina tiba-tiba, gue udah siap-siap
“Kenapa.?”
“Bagusan yang hitam gede gitu, apa yang abu-abu tipis tapi
panjang gitu sih.?” Untung Dina engga nanya bagusan yang panjang ada wing nya
engga, karena ini pertanyaan makin lama makin mirip pembalut.
“Ya, tergantung butuh nya kamu. Tapi kalo menurut aku sih,
karena kamu Photographer jadi leih enak yang tipis ringan dan panjang jadi bisa
dibawa kemana-mana. Karena kalo aku sih prefer yang hitam gede itu, karena aku
Videographer. Karena kalo yang tipis suka kena angin dan engga enak
goyang-goyang.” Jawaban gue yang malah mirip jawaban tukang antena saat ditanya
tiang mana yang bagus untuk antena.
“Oh gitu ya.?” Syukurlah Dina tidak menganggap gue sebagai
cowok Idiot. “Yaudah deh mas, aku yang itu aja.” Kata Dina sambil menunjuk
tripod berwarna abu-abu yang tipis itu.
Setelah Dina beres membayar Tripod yang dia beli itu. Kita langsung keluar dari
toko kamera itu, dan gue mengambil brosur dari toko kamera itu supaya terkesan
kalo gue ada kebutuhan lain buat ke BEC ini, yang padahal engga banget.
Setelah sampai di tempat parkir. Dina mengajak gue ke Taman
Jomblo. Engga ngerti kenapa, karena gue kira gue bakal langsung di ajak balik
sama Dina. Apakah ini Dina benar ada
apa-apa nya sama gue. who knows.?. Gue langsung menyalakan motor gue dan
dan langsung berjalan ke Taman Jomblo yang jarak nya engga terlalu jauh dari
BEC sebenarnya, cuman karena harus mutar-muter jadi lumayan jauh.
Sesampai
nya di Taman Jomblo, kita bisa melihat bahwa Taman Jomblo ini, benar-benar
disalah gunakan. Apalah arti Taman jomblo kalau setiap siang isi nya tetep
terong-terongan sama cabe-cabean yang gagal di Export pacaran. Gue bingung,
engga kah kalian kasian sama kita para Jomblo sampai-sampai kalian embat juga
tempat satu-satu nya kita.?. oke lanjut. Gue langsung memarkirkan Motor gue di
trotoar iya di trotoar, I’m a freakin rebel. Setelah memastikan bahwa motor gue
aman. Dina menarik gue ke dalam taman Jomblo. Sumpah gue aneh banget, ini yang
suka duluan siapa sih?.
Di
Taman Jomblo, kita ke sulitan cari tempat duduk karena memang desain Taman
Jomblo itu single chair, jadi satu-satu engga ada bench. Apalagi semua tempat
duduk di tempatin sama cowok-cewek pacaran semua. Ini benar-benar penjajahan.
“Eh jazz, duduk di sebelah sana yuk..” lagi-lagi gue di tarik sama Dina ke arah
skatepark yang ada di Taman jomblo. Gue udah engga ngerti lagi sumpah. Setelah
gue duduk di salah satu kursi, sambil menjaga kursi kosong di hadapan gue yang
di tempatin Dina. Karena Dina meninggalkan gue duduk sendirian, sementara dia
memotreti cowok-cowok keren yang lagi pada terbang dan muter-muter engga jelas
pake skateboard.
Tapi, pada saat itu. Gue ada dalam kondisi “Dina selalu benar,
Dina selalu penting.” Jadi dia mau ngapain aja gue maklumin. Sampai akhirnya
Dina selesai memotreti para skateboarder
itu. Dia duduk di hadapan gue, sambil bersandar ke Tripod nya. Suasana tiba-tiba menjadi serius, gue udah siap-siap meskipun engga mungkin, gue udah siap bilang "Iya" kalo dia nembak gue duluan. inikan jadi nya Bakar satu daun, 20 pulau terbakar. Suasana semakin lama semakin serius. mungkin, Dina ingin membicarakan sesuatu ke gue. apapun itu, telinga gue akan dengan senantiasa mendengar, sama kayak jantung gue yang senantiasa berdebar kencang setiap Dina melihat ke arah gue. edan, udah kayak zarry hendrik belum gue.? iya lanjut.
Dina menghela nafas panjang. “Jazz…”
“Iya, kenapa.?”
“Kamu tau engga sih… kenapa aku suka Photography.?”
“Iya kenapa.?” Gue udah dua kali ngomong ini.
“Kalo kamu mau tau, aku harus cerita jauh ke belakang dulu
ya.?”
“Iya sok.. Aku punya spion kok” krenyes.
“Jadi ceritanya, aku tuh orang nya engga punya temen dari kecil. Jadi aku tuh akrab banget sama sepi.”
“Masa sih.?, lah itu kamu punya banyak temen di Rendezvous.”
“Iya, itu sebelum aku memutuskan untuk masuk kelingkungan
seperti itu.”
“Ahhh terus-terus..” gue masih memasang muka kebingungan.
“Jadi, awal dari kenapa aku engga punya temen itu, ya. karena aku memang engga pinter di sekolah.” Perkataan Dina ini sempat menusuk gue aww.
“Hah. Engga pinter.? Maksudnya.?” Jawab gue, masih kebingungan.
“Yah gitulah, aku tuh pokok nya payah banget lah di
sekolah.karena itu, banyak orang tua dari temen-temen sekolah aku dulu,
melarang anak-anak nya untuk main sama aku.”
“Kok gitu sih, padahal kan, itu engga bisa nular.”
“Nah karena itulah, aku jadi engga punya temen dari SD sampe SMP”
“Terus di SMA gimana.?”
Dina mengambil nafas panjang, gue bisa lihat di muka nya. kalo, ini pertama kali nya dia menceritakan hal ini ke orang lain.
“Karena aku kecil dulu engga pernah berhubungan sama orang
lain, Aku jadi susah banget untuk berkomunikasi, aku jadi orang yang socialphobia
banget. Apalagi aku tuh sering banget nonton film-film seri amerika dimana
cewek-cewek keren suka nge-bully cewek nerd. dan iya, aku kena bully juga.” lanjut Dina.
Saat ini, gue cuman bisa diam. Dina juga ikut diam. Gue hanya bisa diam saat dihadapan gue sekarang ini ada versi perempuan dari gue. meskipun tidak semua nya sama dengan gue. tapi kita berdua, sama-sama sendiri.
"Karena aku di bully, akhirnya aku menyimpan kemarahan di dalam diri aku, dengan mengatakan ke diri sendiri kalo aku engga butuh temen, tapi nyata nya salah, semakin lama, aku malah stress sendiri."
Gue masih diam.
"Karena
aku menyendiri. Aku lebih peka terhadap hal-hal kecil yang istimewa, coba deh jazz
kamu lihat ke sebelah kiri kamu.”
Gue melihat ke sebelah kiri gue, gue bingung apa nya yang
harus dilihat.
“Disana ada sekumpulan anak jalanan yang sedang ngobrol
bareng, satu anak memakai baju garis-garis berwarna biru muda beraksen putih
itu adalah tukang jual cobek buat bikin sambel, yang perempuan berbaju merah
kecil itu biasa nya meminta kepada orang-orang lewat, yang menggunakan baju
kuning itu pengamen. Mereka ngobrol dengan asik, padahal mungkin aja salah satu
dari mereka harus terkena marahan dari orang tua mereka. Tapi, mereka masih
bisa berkumpul bersama-sama dan berbagi tawa dengan asik. padahal, beban yang mereka punya jauh lebih berat dari nyaris semua orang dewasa.” kata Dina.
Gue kagum sama Dina, dan sejenak melupakan kalo dia
sama sama gue. kita berdua benar-benar beda apalagi pas dia ngomong gitu.
“Biasa
nya semakin miskin orang nya semakin gampang mereka tersenyum, coba bayangin
orang-orang kaya. Ada aja masalah nya, ribut mulu."
"Ahaha, kamu keren ya. kayak Mario Teguh, atau Maria Teguh.?" Ini semakin memperjelas perbedaan kita berdua.
"Karena aku menyendiri dan lebih peka, aku sering menemukan momen-momen kecil, beberapa momen bahagia, beberapa kejadian langka. aku engga mau hal-hal yang aku temukan itu, hilang begitu aja. maka-nya aku suka dunia Photography."
"Hmmm.. jadi, sebenernya kamu mau cerita tentang kamu yang sendiri, bukan tentang Photography." tanya gue.
"Iya, engga nyangka. sekarang, dari Photography aku dapat banyak hal, dapet uang hasil jerih payah sendiri untuk pertama kali nya. dan tentu nya yang paling berharga, teman."
"Hmmm.."
Kita diam untuk beberapa saat sambil melihat beberapa pasangan jahanam yang ada di Taman Jomblo.
"Oh iya satu lagi..." Kata Dina.
"Kenapa.?"
“Karena aku selalu sendiri, aku engga bisa membagi diri aku
sama orang lain.?”
“Maksud nya apa, ngeri amat.”
“Yaitu, jadi. Kadang aku suka jengkelin orang nya, karena
terlalu mikirin diri sendiri.”
Jawab Dina yang mengingatkan gue kepada gue sendiri, Itu mirip sama gue sih, kadang karena gue sendiri banget.
Setiap ada hal apa yang di putuskan sama keluarga gue, gue biasa nya bakal
mencari apa enak nya di gue dulu. Tapi seiring berjalan nya waktu, karena gue
udah lama sama keluarga gue, dan kemana pun. Gue selalu jadi buntut nya
keluarga gue. maka kebiasaan itu pun
mulai menghilang dari gue. mungkin, Dina tidak terlalu dekat dengan keluarga
nya jadi ya gitu.
“Ohh.. lucu dong.?” Jawab gue mencoba membuat perasaan Dina
lebih nyaman.
“Kenapa lucu.? Orang jengkelin kok lucu.”
“Kalo perempuan, jengkelin itu lucu. Kalo cowok, jengkelin
jijik.”
“Halah…” Jawab Dina sambil tersipu malu, gue juga ikut malu.
Setelah Dina mulai menceritakan semua nya tentang dia, gue
juga menceritakan banyak hal tentang gue. yang basically sama aja. Entah apa
tujuan Dina menceritakan semua tentang diri nya ke gue mungkin, karena dia tau
kalo gue suka sama dia atau gimana. Yang jelas ini aneh.
Setelah itu, Dina sama Gue meninggalkan taman Jomblo. Dan
berkeliling kota sambil mencari Bakso. Setelah menemukan Bakso di jalan Boscha.
Kita langsung makan Bakso sampai habis, sambil saling memberi candaan. Malam
itu, gue berhasil membuat Dina tertawa lepas berkali-kali. Gue senang sekali :)
Seusai memakan bakso, gue langsung mengantarkan Dina pulang
kembali ke kemuning, yang jauh nya amit-amit setengah mati dari Jalan Boscha.
Tapi gak papa, sesampai nya di rumah Dina. Gue panik, kalo tau-tau ada kakak
atau orang tua nya Dina yang tau-tau rabies ngamuk dan membacok gue. tapi
ternyata tidak, sesampai nya di rumah Dina. Yang keluar dari rumah Dina adalah sesosok Anggun, rambut nya panjang terurai, mempunyai garis senyum yang nyaris sama kayak Dina. iya, gue ketemu kakak nya Dina yang bernama
Sena beda tipis sama nama Dina. Teh Sena baik, cantik, dan ramah banget.
Dilihat dari perlilaku nya, dia sangat anggun, beda sama Dina yang seperti
nicky astria (wow what a joke).
Dina terlihat membisikan sesuatu, Sena juga beberapa kali melihat ke arah gue sambil tersenyum.
“Udah teh, teteh masuk aja dulu.” Kata Dina. Teh Sena pun akhirnya masuk ke rumah lebih dulu.
Kita berdua diam agak canggung di depan rumah Dina, Gue menahan-nahan beberapa kata yang dari di Taman jomblo udah mau gue
omongin, sampai akhirnya muncul kesempatan.
“Din..”
“Hmm.?”
“Tadi kamu takut karena film-film seri amerika sering
ngebully cewek nerd.?”
“Iya sih haha..”
“Perlu kamu tahu kalo kamu adalah cewek paling keren, at
least. Di mata aku, kamu adalah cewek paling keren di dunia ini. aku berani
jamin apapun, kalo kamu berani untuk memulai berteman, engga ada satu pun orang
yang akan menolak kamu. Karena kamu keren!.”
Kata gue berusaha terlihat keren.
"Just beat them at their own game, kalo mereka bermain dengan nge bully kamu karena mereka punya teman, kamu juga harus punya banyak teman, dan buktiin. Kamu itu Keren!." lanjut gue.
Syukur, Dina bisa tersenyum sama kata-kata yang selama ini
selalu gue ucapkan di dalam hati untuk gue sendiri. Pada malam itu, gue yakin. Dina udah tau kalo gue suka sama
dia. Gue pun menarik gas, dan pergi ke rumah dengan lega, dan merasa kalo muka gue sekarang udah seganteng Logan Lerman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar